Informasi Seputar Komputer dan ICT

12 Desember 2008

Sejarah Bidar (1)

Lomba bidar adalah lomba mendayung perahu yang dinamai ‘bidar’. Seni dayung tradisional Palembang ini hidup sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Pada perayaan hari besar, terutama Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, lomba bidar dilangsungkan di Sungai Musi yang mengalir di tengah-tengah kota Palembang. Perahu bidar berbentuk khusus.

Bidar adalah singkatan dari biduk lancar. Sejenis biduk (perahu) yang zaman dahulu kala khusus digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Bentuknya kecil dan hanya muat untuk seorang. Akan tetapi, pada perlombaan sekarang, satu perahu didayung oleh belasan orang.

Menurut cerita, lomba bidar bermula dari peristiwa Putri Dayang Merindu. Seorang gadis cantik jelita tinggal di bagian hulu kota Palembang. Anak tunggal, ayahnya bernama Sah Denar, bersahabat dengan Tua Adil, teman sekampung keluarga kaya raya yang mempunyai anak pria bernama Dewa Jaya. Beranjak remaja, Dewa Jaya dikirim orang tuanya ke beberapa negeri lain untuk menuntut ilmu bela diri, terutama pencak silat.

Bertahun-tahun menuntut ilmu, ketika kembali dia sudah jadi pemuda remaja yang tampan. Ia sangat kagum dan jatuh cinta pada Dayang Merindu, yang sejak kecil menjadi teman bermainnya. Dewa Jaya minta agar orang tuanya melamar. Sah Denar dan istrinya senang mendengar hasrat melamar itu.

Ketika suami istri menanyai anak mereka, Dayang Merindu dengan lembut menjawab:
“Mohon ampunan pada Ayah dan Bunda. Belum tersirat rasa cinta di hati saya terhadapnya. Oleh karena itu, saya belum mau mengatakan bersedia jadi istrinya. Namun, jika Ayah dan Bunda memaksa, saya tidak akan durhaka pada orang tua.” Sah Denar dan istrinya berpendapat, mungkin karena Dayang Merindu baru berusia sembilan belas tahun, belum ada hasrat bercintaan dengan pemuda. Ketika keluarga Tua Adil datang melamar, mereka menerima lamaran itu dengan ikatan pertunangan.

Sementara itu, di sebuah kampung di hilir kota Palembang, ada seorang pemuda bernama Kemala Negara, anak keluarga petani di tepi Sungai Musi. Selama merantau mencari nafkah ke negeri lain, dia banyak belajar ilmu bela diri. Pada suatu hari, Kemala Negara sedang mandi bersama teman-temannya di Sungai Musi. Mereka melihat sebuah cawan tembaga kecil hanyut terapung dari hulu. Kemala Negara berenang ke tengah sungai mengambilnya.
“Biasanya cawan dan bunga serta minyak yang wangi seperti ini adalah bahan keramas cuci rambut wanita,” kata Kemala Negara. Temannya sependapat dan ada yang mengatakan, pastilah benda keramas itu milik wanita kaya raya, bangsawan.
“Benar. Apa gerangan sebabnya benda seanggun dan semahal ini bisa hanyut? Mungkin ada pria jahat yang mengganggu wanita yang sedang keramas itu. Kita harus berusaha mengembalikannya,” ujar Kemala Negara. Temannya berkata: “Benar. Carilah siapa pemiliknya, Kemala! Mana tahu nasib baik, pemiliknya masih gadis dan cantik pula. Sepadan dengan kau.” Kemala Negara setuju pendapat temannya. Disimpannya cawan itu tanpa mengusik isinya. Hari itu juga, dia sendiri berperahu menghulu Sungai Musi. Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar